Minggu, 29 November 2009

Ali Zaenal Abidin “Ahlul Bayt Yang Tersisa”

Pada suatu hari, terdengar seseorang menangis seraya menggumamkan kalimat, la ilaha illallah haqqan haqqa. La ilah illallah ta’abudan wa riqqa. La ilaha illallah imanan wa shidqa… (“Tidak ada tuhan kecuali Allah, yang sebenar-benarnya, dengan penuh penghambaan dan kelembutan hati. Tidak ada tuhan kecuali Allah, dengan keimanan dan ketulusan.”). Ya Sayyiidi, kata seseorang dari belakang menegur, “apakah belum juga datang waktunya dukamu berhenti dan tangismu berkurang?”,“Bagaimana engkau ini, Yaqub bin Ishaq adalah nabi dan putra nabi. Ia punya dua belas putra. Seorang diantara mereka menghilang dan Yaqub menderita. Matanya buta karena sering menangis dan rambutnya beruban. Padahal, anak yang ditangisinya masih hidup di dunia. Aku melihat ayahku, saudaraku, dan tujuh belas saudaraku dibantai didepanku. Mungkinkah hilang dukaku dan berkurang tangisku?” jawabnya, seraya kembali bersujud melafalkan asma Allah.

Siapakah laki-laki itu? Tak lain adalah Sayyidina Ali bin Husain yang lebih dikenal dengan julukannya, Ali Zaenal Abidin. Ia adalah cicit Rasulullah SAW, satu-satunya keturunan Sayyidina Husain bin Ali bin Abi Thalib yang selamat dalam peristiwa Karbala, Irak, 10 Muharram 61 H (680M). Kala itu, usianya masih belia, 11 tahun dan sedang sakit keras. Ia menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana keluarganya dibantai dengan sadis oleh tentara Yazid bin Muawiyah, khalifah Bani Umayyah. Tunas muda keturunan Rasulullah SAW pun berguguran, yang tersisa hanya kaum hawa dan anak-anak. Pakaian mereka penuh dengan darh para syuhada, sementara pakian penutup wajah mereka compang-camping direnggut tentara musuh.

Ia teringat, sore itu, tepatnya hari senin, pada saat matahari padang pasir Karbala yang garang mulai terbenam. Mata lembut ayahnya, Sayyidina Husain, memandangnya. Syuhada itu lalu berkata, “Anakku, sesungguhnya segala urusan kembali kepada Allah Yang Mahabesar. Semua yang hidup akan menempuh jalan sepertiku.” Hatinya serasa disayat sembilu. Ingin rasanya ikut berjuang menghalau tentara Bani Umayyah yang sedang mengepung mereka berhari-hari. Ingin rasanya menghapus dahaga yang menyrang rombongannya, karena sumber air sungai Furat, dikuasai tentara lawan. Tapi, apa daya, tubunya lemas.

Ia juga teringat saat bibinya, Sayyidh Zainab, berkata kepada ayahnya: “Wahai saudaraku, sejelek-jelek kehidupan adalah hari ini. Pada hari ini, wafatlah kakekku: Al-Musthafa SAW, ibuku: Fatimah RA, ayahku: Ali RA, dan kakaku: hasan RA.” Dengan lembut ayahnya mengingatkan, “Adikku, jangan sampai setan menghilangkan kesabaranmu.” Lalu bibinya jatuh pingsan. Ayahnya segera mendekat dan menuangkan air di wajah bibinya sampai sadar kembali. Takutlah kepada Allah, wahai adikku. Bersabarlah, ketahuilh bahwa semua penghuni bumi akan mati. Segela sesuatu akan binasa, kecuali Allah SWT. Kakekku, ayahku, ibuku dan saudaraku semuanya telah wafat. Kakekku lebih baik daripada aku. Ayahku lebih baik daripada aku. Ibuku lebih baik daripada aku. Saudaraku lebih baik daripada aku. Mereka semua lebih bik daripada aku. Rasulullah SAW adalah teladan bagiku, bagi mereka, dan bagi setiap muslim. Maka, jangan sampai setan melenyapkan kesabaranmu,” kat Sayyidina Husain menghibur hati adik perempuannya itu.

Saat itu, yakinlah Ali Zaenal Abidin bahwa ayah yang sangat ia cintai dan hormati telah bertekad bulat untuk memperoleh syahid sebentar lagi. Benar saja, tak berapa lama Ali mendengar, ayahnya, juga saudara kandungnya, Abdullah bin Husain, serta banyak kaum muslimin dalam rombongannya, telah syahid. Jantungnya berdegup kencang. Lebih-lebih lagi saat ia mendengar betapa pasukan Ibnu Ziyad membunuh orang-orang yang dikasihinya. Mereka membidik tubuh Abdullah bin Husain, saudara kandungnya, dengan panah saat hendak menciduk air Sungai Furat untuk melepas dahaga yang menyiksanya. Abdullah tewas tepat di hadapan ayahnya, Sayyidina Husain. Begitu pula sang ayah, dibunuh dengan cara yang tak kalah kejamnya. Pipinya dipanah hingga berlumuran darah saat hendak meraih air minum. Kemudian, tubuhnya ditusuk dengan pedang, hingga akhirnya tentara musuh bernama Syammar bin Ziljausan menyergap dan memenggal leher orang yang sangat dikasihi Rasulullah SAW itu hinnga putus. Belum puas, tentara musuh itu membantai tubuh yang sudah tak bernyawa itu beramai-ramai.

Air mata Ali Zaenal Abidin mengalir deras. Nafasnya memburu. Jantungnya pun berdegup makin cepat. Ia tak menyangka sungguh biadab perbuatan pasukan yang diperintahkan oleh penguasa Bani Ummayah, Yazid bin Muawiyah itu. Mereka membantai keluarga Rasulullah SAW dan pengikutnya tanpa welas asih. Ia sendiri nyaris terbunuh, kalau saja bibinya tidak menghalangi pasukan musuh yang sudah siap menghunuskan pedang tepat di jantungnya. Dengan susah payah, Ali meminta kepada bibinya untuk dibekali tongkat dan pedang, agar bisa membela ayahnya dan gugur bersamanya. Ia butuh tongkat untuk bersandar dan pedang untuk berperang. Namun, sang bibi mencegah dengan alasan sakit yang dideritanya sangat parah. Itulah cara Allah SWT menyelamatkan nyawa Ali dan memelihara keturunan Sayyidina Husain.

Sejarah kehidupan Ali memang sangat menakjubkan. Sejak kecil sudah menanggung beban hidup yang berat. Lhir pada hari Kamis, 5 Syaban, 38 H (659 M), pada masa pemerintahan kakeknya, Ali bin Abi Thalib, dari rahim putrid Khosru Yasdajird II dari Dinasti Sasanid II di Persia (sekarang Iran) yang dibawa oleh pasukan muslim ke Madinah setelah mereka membebaskan Persia dari bangsa Romawi. Ibunya wafat beberapa hari setelah melahirkannya karena sakit panas sewaktu nifas. Oleh keluarganya, ia dipanggil Ali Asghar, karena dua saudaranya yang lain juga bernama Ali. Masing-masing mempunyai panggilan sendiri, yaitu Ali Akbar dan Ali Ausath. Saudaranya yang lain bernama Abdullah dan tiga saudarinya ialah Zaenab, Sakinah, dan Fatimah. Semua saudaranya terbunuh, kecuali dirinya.

Sejak kecil Ali sudah belajar berbagai macam ilmu. Ia menghafalkan dan mempelajari Al-Quran, hadits, dan fiqih kepada ayahnya, serta para sahabat Rasulullah SAW dan tabi’in lain. Ia belajar dari mereka, ia juga menukil ilmu dari istri-istri buyutnya, Rasulullah SAW, yaitu Shafiyah, Aisyah, dan Ummu Salamah. Ia menapaki jalan para imam dengan cepat. Dn kelak para ulama merujuk kepadanya dalam hal pendapat dan ijtihad, dalam menguatkan dan menshahihkan suatu pendapat, karena banayaknya apa yang didengar, dihafal, dipikirkan dan disimpulkan oleh Ali Zaenal Abidin.

Setelah pertempuran Karbala usai, pasukan musuh lalu menggiring Ali bin Husain dan rombongan ke Kufah sebagai tawanan. Mereka, yang terdiri atas wanita dan anak-anak, termaksud dirinya yang masih berusia 11 tahun, dalam keadaan terbelenggu rantai. Mereka menghadapkan Ali Zaenal Abidin yang masih keadaan terbelenggu ke hadapan Gubernur Kufah, Ubaidillah bi Ziyad, ibnu Ziyad bertanya,
“Siapa namamu?”
“Aku Ali bin Husain.”
“Bukankah Allah telah membinasakan Ali bin Husain?”
“Saya mempunyai saudara bernama Ali juga. Ia telah dibunuh orang,” jawab Ali dengan berani.
“Allah yang telah membinasakannya,” kata Ibnu Ziyad.
Alai menjawab dengan kalimat Al-Quran, “Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya. Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati, kecuali dengan ijin Allah.”
Ibnu Ziyad menimpalinya dengan sangat marah, “Engkau berani menjawab ucapanku? Demi Allah, engkau akan seperti mereka!”

Kemudian ibnu Ziyad memerintahkan agar Ali dibunuh. Namun, Sayyidah Zainb segera memeluk dan melindunginya,seraya berkata kepada Ibnu Ziyad, “Wahai Ibnu Ziyad, cukup sudah keluarga kami yang kau bunuh! Bukanlah engkau telah meminum darah kami? Demi Allah, aku tidak akan melepaskannya. Jika engkau membunuhnya, bunuhlah pula akau!” Ibnu Ziyad pun mundur dan merasa keder. Lalu ia berkata, “Biarkanlah anak itu untuknya. Sungguh mengherankan ikatan kekeluargaan itu! Aku benar-benar merasa bahwa ia memang ingin aku bunuh bersama kemenakannya itu!

Kemudian Ali bin Husain bersama rombongannya digiring ke Damaskus, tempat kedudukan penguasa Bani Ummayah, Yazid bin Muawiyah. Bersama para tawanan itu, terdapat kepala Sayyidina Husain dan kepala para syahid yang lain. Di hadapan Yazid, kepala-kepala itu di letakkan, termasuk kepala Sayyidina Husain. Kemudian masuklah Ali dalam keadaan terbelenggu bersama tawanan lain. “Wahai Ali, sesungguhnya ayhmu telah memutuskan hubungan denganku, tidak mengetahui hakku, dan menentang kekuasaanku, sehingga Allah berbuat terhadapnya sebagaimana yng engkau lihat,” kata Yazid bin Muawiyah kepada Ali bin Husain. Ali kemudian menjawab dengan kalimat yang ada dalam Al-Quran, “Tiada suatu bencna pun yang menimpa dibumi dan pada dirimu sendiri, melainkan telah tertulis dalam kitab sebelum Kami menciptakannya.”

Diceritakan juga bahwa pada suatu hari,Yazid duduk bersama Ali dalam masjid untuk melakukan shalat. Muadzin bangkit mengumandangkan adzan . ketika muadzin mengatakan, “Allahu Akbar,” Ali mengulanginya Allahu Akbar. Yazid pun tak ketinggalan mengulanginya. Lalu muadzin mengatakan, “Asyhadu an la Illaha Illalah,” Ali mengulanginya, dan Yazid mengikuti sesudahnya. Kemudian muadzin berkata, “Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah,” Ali mengulanginya, begitu pula Yazid. Ali menengok ke arah Yazid dan bertanya, “Siapa Muhammad Rasulullah?” Yazid merasa heran dengan pertanyaan itu. Ia menjawab, ia kakekmu. “Jika engkau tahu ia kakeku, mengapa engkau bunuh keturunannya?” Yazid tidak merasa senang dengan pertanyaan tersebut.

Para ahli sejarah mengatakan bahwa Ali dalam keadaan dirantai masuk bersama para tawanan ke tempat Yazid bin Muawiyah, di istana Khalifah di Damaskus, di Majelis Yazid terdapat utusan Raja Romawi. Utusan itu bertanya, “Siapa para tawanan itu?”
Mereka adalah wanita-wanita keluarga Husain dan putrid-putri Rasulullah SAW. Yang dibelenggu adalah putra Husain, Ali. Utusan itu pun berkata terheran-heran, “Di tempat kami, dalam sebuah lemari di dalam biara, terdapat kuku keledai Isa bin Maryam. Setiap tahun kami menuju kesana. Orang-orang mendatanginya dari berbagai daerah. Mereka mengagungkannya sebagaimana kalian mengagungkan Ka’bah. Bagaiman mungkin kalian melakukan hal ini terhadap keluarga Rasulullah? Bagaimana mungkin kalian membunuh Husain?

Di padang Karbala, gerbang menuju kota Kufah, orang-orang yang dikasihi Ali Asghar bergugurn. Yang tertinggal menjadi tawanan penguasa Bani Ummayah dan digiring ke kota Madinah. Di kota Nabi SAW inilah, Ali Asghar yang masih belia itu mencoba kembali menata hidupnya, walau tidak pernah bisa melupakan sedikit pun peristiwa yang memorak-porandakan keluarganya. Jika terkenang, air matanya mengalir deras. Ia pun tersungkur, bersujud kepada Sang Pemilik Alam. Ali memasrahkan semua kepada-Nya. Tak setitik pun ia menyimpan dalam hati. Namun sebaliknya, ia justru menghadapi dendam politik Bani Ummayah yang tiada berkesudahan, hingga suatu hari nanti, ia pun terbunuh dengan racun yang diumpankan orang-orng keturunan Muawwiyah bin Abi Sofyan itu.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Followers

wolles world Copyright © 2009 WoodMag is Designed by Ipietoon for Free Blogger Template